Sabtu, 18 Desember 2010

Nikah Trendi Ala Saudi

Nikah Trendi Ala Saudi

JUMAT malam pekan lalu, Khaled Alghamdi, 41 tahun, tampak duduk santai
menghabiskan malam panjang akhir pekannya. Bersama rekannya sesama
pengusaha
yang bermukim di Jeddah, Arab Saudi, Khaled asyik mengisap syisa',
rokok Arab
dengan rasa khas sari buah-buahan. WOX Cafe, nama kafe tempat mereka
biasa saling ngobrol bebas, adalah ajang berkumpulnya para rijaal a'maal
(eksekutif muda) Saudi yang terletak di kawasan elite Distrik Tahlia, Jeddah.

Di WOX Cafe, mayoritas konsumennya datang dari luar kota. Mereka tampak
puas menikmati suasana kota Jeddah yang cenderung agak bebas peraturannya
dibandingkan dengan kota-kota lain di daratan Saudi. Khaled adalah CEO
perusahaan garmen terkenal yang berkantor pusat di ibu kota Arab Saudi,
Riyadh. Pabriknya menyebar di tiga kota besar utama Saudi: Riyadh,
Jeddah,
dan Dammam. Malam itu ia tampak bahagia. Wajahnya cerah dan senyumnya
terus
mengembang.

Ada apa gerangan? Usut punya usut, rupanya Khaled baru menikahi seorang
janda
kaya asal Jeddah yang berprofesi sebagai guru. Si janda adalah istri
ketiga
Khaled. Istri pertama dan kedua berdomisili di Riyadh. Gaji seorang
guru di
Saudi bisa mencapai belasan ribu riyal. Rekan-rekan dekatnya tampak
bergantian
menyalami dan memujinya. "Ini bukan sembarang nikah. Ini pernikahan
tren
baru.
Nikah misyaar," bisik Khaled kepada Gatra. Misyaar?

Di daratan Timur Tengah, poligami adalah sesuatu yang jamak, bahkan
sudah
mentradisi. Poligami bahkan menjadi status sosial seseorang. Orang yang
mapan
secara ekonomi umumnya memiliki istri lebih dari satu. Sindiran di
antara
mereka, kalau hanya beristri satu, lazim dikatakan "miskiin enta..!"
(kasian
deh lu).

Tapi, di sisi lain, tingkat perceraian cukup tinggi. Hal ini terjadi
karena
kaum wanita di Saudi sangat konsumtif, punya hobi mishwaar
(jalan-jalan) dan
belanja yang tinggi. Sayang, mereka tidak produktif, selain memang
karena
tabiat mereka yang pemalas. Ruang lingkup kerja yang sangat terbatas
menjadi
alasan lain. Perceraian adalah jalan keluar ketika suami tidak mampu
memenuhi anggaran belanja sang istri.

Di Arab Saudi, pernikahan bisa menelan biaya ratusan ribu riyal.
Umumnya
seorang mempelai wanita meminta mahar 50.000 riyal hingga 250.000
riyal,
setara dengan Rp 125 juta hingga Rp 600 juta. Selain mahar, calon suami
harus sudah menyediakan rumah/apartemen dan kendaraan, plus simpanan
deposito bagi calon istri. Ini semua dilakukan agar ketika terjadi
perceraian, sang istri punya ''sangu'' untuk bertahan sampai ia dilamar
untuk menikah lagi. Jumlahnya sesuai permintaan sang calon istri.

Total, biaya untuk satu perhelatan haflah zafaaf (pesta pernikahan),
calon
suami sedikitnya menyiapkan dana 400.000 riyal-500.000 riyal. Khusus
bagi
warga Saudi yang kurang mampu secara ekonomi, ada salah satu lembaga
sosial
yang khusus menghimpun dana untuk membantu warga yang berniat menikah,
tapi
tak mampu secara keuangan.

Tapi fakta di lapangan, pada umumnya lelaki Saudi tak mau menikahi para
janda.
Untuk urusan yang satu ini, mereka paling ''demen'' memilih gadis di
bawah
umur 20 tahun. Maka, banyak janda hingga usia lanjut tak kunjung
menikah
lagi. Secara diam-diam kini muncul tren pernikahan baru yang disebut
"nikah
misyaar"
(pernikahan berjalan), yaitu pernikahan yang tidak mengikat sang suami
untuk
tinggal serumah dan menafkahi istri. Hasil ijtihad para ulama fikih
Saudi
yang
tergabung dalam satu kumpulan organisasi bernama Majma' Ulama Fiqhiy
(MUF)
membolehkan pernikahan itu dengan syarat-syarat sangat ketat.

Para ulama MUF, antara lain Syekh Muhammad Ali Syekh dan Syekh Bakr Abu
Zaid,
berpendapat bahwa pernikahan misyaar adalah solusi bagi para janda yang
mapan
secara ekonomi. Setelah rukun dan syarat nikah terpenuhi, secara hukum
syar'i
sah nikahnya. Juga ada pengalihan hak dan kewajiban.

Lazimnya suami yang menafkahi istri. Dalam hal nikah misyaar, kewajiban
itu
dialihkan ke pihak istri. Karena si istri tidak menuntut apa pun dari
sang
suami. Ia dianggap lebih mapan. Selain tidak berkewajiban untuk
menafkahi,
sang suami tidak dipermasalahkan untuk tidak tinggal serumah. Ia boleh
datang
beberapa hari dalam seminggu atau bahkan sebulan sekali. Suami datang
hanya
untuk memenuhi kebutuhan biologis sang istri. Bahkan sebaliknya,
kebutuhan
hidup suami yang dipenuhi oleh sang istri.

Dalam beberapa pekan terakhir, perdebatan bermunculan di berbagai media
cetak
dan elektroknik. Umumnya masyarakat tidak memasalahkan syar'i. Karena
syarat
dan rukun sudah terpenuhi, maka nikahnya dinyatakan sah. Mereka lebih
mengkhawatirkan dampak negatif terhadap kehidupan berumah tangga dan
bermasyarakat. Apalagi kalau sampai memiliki keturunan. Si anak tidak
merasakan keutuhan sebuah keluarga. Penyebabnya, mayoritas yang
melaksanakan
nikah misyaar tidak diikuti dengan isy'aar (pemberitahuan kepada
khalayak
umum). Pernikahannya cenderung diam-diam.

Pernikahan bukan sebatas halalnya hubungan biologis, tapi ada
konsekuensi
sosial yang harus ditanggung. "Dengan nikah, kita juga akan terhalang
dari
fitnah. Nikah misyaar hanya akan menimbulkan fitnah baru," Ahmad
Abdullah
Al-Quraisy memaparkan dengan berapi-api dalam dialog interakif yang
diselenggarakan saluran televisi khusus dialog agama, IQRA. Ahmad
adalah
seorang pemuka masyarakat Mekkah dari komunitas Quraisy.

Ketika perdebatan tentang boleh-tidaknya pernikahan itu merebak di
seantero
negara di kawasan Teluk, ulama besar Mesir, Yusuf Qardhawi, pun merasa
perlu
angkat bicara. Dalam wawancara eksklusif di televisi Al-Jazeera, ia
mengatakan, "Tidak seharusnya kita mengatakan haram terhadap sesuatu
yang
jelas-jelas halal," katanya. "Apa hak kita memvonis haram ketika syarat
dan
rukunnya sudah benar? Ketika ada seorang perempuan kaya ingin menikah
dan
dia sanggup menanggung seluruh beban kehidupan suaminya, apa kemudian
nikahnya menjadi batal?" Qardhawi menegaskan.

Belum reda perdebatan tentang nikah misyaar, muncul fenomena ''nikah
frendi",
diambil dari kosakata bahasa Inggris: friend, yang berarti "teman".
Pernikahan
ini sebatas nikah pertemanan. Tak ada tuntutan hak dan kewajiban.
Umumnya
yang
banyak melakukan pernikahan yang satu ini, baik istri maupun sang
suami,
memiliki kesibukan cukup tinggi, sehingga hanya bisa bertemu pada saat
dan
waktu tertentu.

MUF Saudi kembali berpendapat bahwa pernikahan itu dibolehkan pada saat
dhoruri (darurat) saja. Sebagai contoh, seorang muslim, ketika bermukim
di
negara-negara Barat (Eropa/Amerika), untuk menghindari perzinaan,
dimungkinkan
mengambil keputusan nikah frendi sebagai alternatif.

Meski Majma' Ulama Fiqhiy membolehkan pernikahaan misyaar dan frendi
dengan
syarat-syarat yang ketat, faktanya kedua jenis pernikahan itu terus
berlangsung secara diam-diam. Tapi, yang jelas, esensi pernikahan untuk
membentuk keluarga harmonis dengan membuahkan keturunan tak bisa
dicapai
secara optimal dengan cara nikah misyaar maupun frendi.

Nordin Hidayat (Jeddah)
[Agama, Gatra Nomor 30, Beredar Kamis, 8 Juni 2006]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar