Nasib Perang Yaman Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh bertekad segera membasmi total milisi Al-Houthi. Hal itu ditegaskannya bersamaan dengan digelarnya putaran keenam serangan tentara Yaman terhadap gerilyawan Syiah Zaidiyah itu. Namun demikian, kendati serangan militer pemerintah Yaman sudah empat setengah bulan berlalu, para pejuang Al-Houthi masih terus eksis melancarkan perlawanannya bahkan kekuatan dan popularitas kelompok ini makin menanjak. Padahal sejak awal, Arab Saudi sendiri juga turut menyokong operasi militer pemerintah Yaman dengan melancarkan serangan udara ke wilayah utara Yaman, kawasan yang dikenal sebagai kantong-kantong pertahanan gerilyawan Al-Houthi. Bahkan pada awal November, Arab Saudi juga mengerahkan pasukan angkatan darat dan lautnya ke wilayah konflik. Parahnya lagi, belakangan AS juga ikut-ikutan memerangi milisi Syiah Zaidiyah. Tentu saja, kondisi ini membuat skala konflik di Yaman kian melebar dan pelik.
Awalnya, krisis di Yaman tak begitu parah. Masyarakat Syiah Zaidiyah yang umumnya tinggal di provinsi Sa'dah menuntut keadilan ekonomi dan kebebasan bermazhab. Namun bagi pemerintah pusat Yaman, tuntutan itu terlalu mahal. Ironisnya lagi, rezim Yaman justru menjawab tuntutan rasional itu dengan operasi militer. Lima tahun lalu, serangan pertama militer Yaman ke Sa'dah, berhasil menewaskan pemimpin politik gerakan Al-Houthi, Hussein Al-Houthi. Tak ayal, kejadian itu justru mendorong kekuatan milisi Al-Houthi makin melebar dan memantapkan tekad masyarakat Syiah untuk meraih keadilan politik, agama, dan ekonomi. Akibatnya, konflik bersenjata pun terus berlanjut hingga kini. Meski selama ini, para pemimpin milisi Syiah menyambut baik usulan gencatan senjata dan perundingan untuk menyelesaikan friksi dengan pemerintah Sana'a. namun pemerintah Yaman tetap saja bertahan untuk mengobarkan perang yang justru banyak mengorbankan warga sipil.
Masuknya campur tangan tentara Arab Saudi ternyata tak juga mengubah nasib perang saudara di Yaman. Sebagian analis menilai, penentangan ideologi wahabi yang mendominasi Arab Saudi terhadap Syiah merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi serangan militer Saudi terhadap warga Syiah di Sa'dah. Rezim Riyadh yang selama ini memiliki rekam jejak yang panjang dalam mencampuri urusan dalam negeri Yaman, menggelar aksi misionaris besar-besaran untuk menwahabikan warga Syiah Zaidiyah di utara Yaman. Namun, mayoritas warga di utara Yaman merupakan pendukung pemikiran Islam revolusioner, Sayid Hussein Al-Houthi dan menolak pemikiran kolot dan fanatik buta ideologi Wahabi. Tentu saja kondisi itu membuat rezim Riyadh merasa terancam. Apalagi sebagian besar warga Syiah Arab Saudi terkonsentrasi di wilayah selatan yang berbatasan langsung dengan utara Yaman. Arab Saudi khawatir tuntutan keadilan politik dan ekonomi yang disuarakan warga Syiah di Yaman bisa mendorong warga Syiah di Arab Saudi melakukan upaya serupa.
Kini, mayoritas pakar militer meyakini bahwa operasi militer Arab Saudi di utara Yaman menghadapi jalan buntu. Di sisi lain, meski pemerintah Yaman dan Arab Saudi melarang masuknya wartawan ke kawasan perang, namun beragam bukti dan laporan yang berhasil dihimpun ternyata menunjukkan bahwa militer kedua negara itu tak banyak meraih kemenangan berarti.
Beberapa waktu lalu, Koran Guardian terbitan Inggris mengungkap kegagalan militer Yaman dan Arab Saudi dalam menghadapi perlawanan pejuang Al-Houthi. Guardian menulis, "Dengan melihat kondisi medan pertempuran yang bergunung-gunung dan berbukit, serta penguasaan teknik perang gerilya dan pemanfaatan ranjau darat yang tepat oleh Al-Houthi, para ahli memperkirakan, tentara Arab Saudi tak lama lagi bakal menelan kekalahan telak". Koran terbitan London itu menambahkan, "Perlawanan Al-Houthi dalam menghadapi militer Yaman dan Arab Saudi telah mengundang keheranan para pengamat militer regional".
Jurubicara Kelompok Al-Houthi dalam wawancara dengan Televisi Al-Alam mengungkapkan, "Pesawat-pesawat tempur Arab Saudi tetap saja menggempur kawasan permukiman meski jauh dari pusat pertempuran". Dia menginginkan kehadiran media untuk meliput dan menyaksikan brutalitas militer Arab Saudi. Sementara pemimpin Al-Houthi di luar Yaman, Yahya Al-Houthi menilai serangan militer Saudi sebagai aksi genosida. Ia menilai militer Saudi telah melakukan kejahatan perang yang berat lantaran menggunakan senjata terlarang seperti bom fosfor untuk menghabisi warga sipil. Ditegaskannya, "Kami telah berkali-kali mendesak masyarakat internasional. Dan sekali lagi kami mendesak supaya para jurnalis dan komisi penyelidikan diijinkan masuk ke kawasan perang. Sayangnya, pemerintah Yaman dan Arab Saudi memblokade kawasan perang dan tidak mengijinkan hal itu".
Kini, serangan udara AS ke utara Yaman merupakan bentuk dari dukungan nyata Washington yang bisa menguntungkan Riyadh dan Sana'a. Sebelumnya, AS memberikan bantuan finansial dan pelatihan militer kepada Yaman. Serangan udara AS, khususnya pada tanggal 20 Desember lalu kian menampakkan permusuhan sengit Washington terhadap masyarakat Syiah Yaman. Dalam serangan itu, 130 warga sipil tewas dan 44 lainnya cidera. Kendati AS berusaha mengingkari serangan itu, namun kelompok Al-Houthi berhasil mempublikasikan tayangan video yang menunjukkan kebiadaban serangan udara AS.
Karuan saja, dengan turut campurnya militer AS dalam konflik bersenjata di Yaman membuat kondisi masyarakat sipil di utara Yaman makin menderita. Korban di pihak sipil terus berjatuhan sementara pasokan bahan kebutuhan pokok, terutama makanan, air minum, dan obat-obatan kian langka. Bahkan menurut sejumlah laporan, tentara Yaman menghancurkan sumber-sumber air hingga masyarakat sipil kini pun tak bisa memperoleh air minum yang bersih. Selain itu, sekitar 200 ribu warga utara Yaman nasibnya kian terkatung-katung dalam pengungsian.
Mereaksi boikot pers yang diterapkan Arab Saudi dan Yaman, Amnesti Internasional mendesak kedua pemerintahan negara itu mengijinkan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk mengeluarkan para pengungsi dari kawasan perang. Ironisnya lagi, menurut pengakuan aktivis politik Yaman, Sayf Ali Al-Washli, rezim Sana'a ternyata memanfaatkan bantuan kemanusiaan bagi korban perang untuk kepentingan lain.
Di sisi lain, melihat adanya kedekatan ideologis antara masyarat muslim utara Yaman dengan Republik Islam Iran. Maka Tehran pun dituding memberikan bantuan persenjataan kepada gerilyawan Al-Houthi. Tanpa menyebutkan bukti dan dalil yang kuat, media-media Arab yang berafiliasi dengan rezim Riyadh terus melancarkan tudingan tersebut. Padahal jika kita melihat kembali peta geografi, penyaluran bantuan hanya mungkin dilakukan lewat perbatasan Arab Saudi ataupun laut merah. Sementara kedua kawasan itu berada dalam kontrol ketat militer Arab Saudi. Selain itu, kebijakan Republik Islam Iran soal krisis di Yaman senantiasa mengedepankan solusi damai melalui perundingan.
Masalah lainnya adalah hampir semua warga Yaman bebas memegang senjata, dan hingga kini pemerintah Sana'a pun belum mencabut larangan memiliki senjata bagi warganya. Karena itu, kelompok Al-Houthi tidak terlalu kesulitan untuk memperoleh pasokan senjata. Apalagi gerilyawan Al-Houthi juga dilaporkan berhasil memperoleh rampasan senjata dari tentara Yaman dan Arab Saudi.
Tentu saja dengan terus berlarut-larutnya perang, militer Yaman dan Arab Saudi pun berupaya mengakhiri perang secara bermartabat. Sebagian pengamat menilai, klaim kemenangan militer Arab Saudi yang ditampik oleh kelompok Al-Houthi sejatinya merupakan pengantar untuk mengakhiri perang dari pihak Riyadh. Sementara di kalangan politisi di Yaman sendiri muncul perdebatan sengit soal kelanjutan perang. Selama ini kubu oposisi mendesak untuk segera mengakhiri konflik dengan menggelar perundingan. Tentu saja, jika cara-cara penyelesaian damai dan adil bisa diterapkan, maka masyarakat Syiah Yaman bisa lebih optimis untuk memperoleh hak-hak politik dan agamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar